Akmal Fauzi (108051000140)
Komunikasi Politik
tugas Mr. Beki..
Political Apathy (Noberto Bobbio 1982)
Political Apathy, kalau kita lihat dari segi bahasa berarti politik apatis. Ini bukan berarti politik tersebut apatis tetapi ini dilihat dari pandangan masyarakat terhadap politik. Noberto bobbio memandang bahwa Politik apatis terjadi akibat ari kekecewaan masyarakat kepada elite politik. Mereka beranggapan politik selalu diasumsikan oleh kebohongan, maksudnya, para elite polotik selalu mengumbar janji-janji. Misalnya dalam pemilihan umum, seorang calon pemimpin (elite politik) dalam berkampanye menyampaikan janji-janji yang akan dilakukan, namun opada kenyataannya hal itu tidak bisa direalisasikan dan dipenuhi dan hal ini menjadi budaya. Hal ini menimbulkan kekecewaan dari ,asyarakat terhadap budaya politik. Contohnya, pada pemilihan umum angka Golongan Putih (golput) meningkat. Masyarakat lebih baik tidak menyuarakan suaranya karena asumsi politik itu kotor bagi mereka.
Di Indonesia yang kita tahu menganut system demokrasi dimana pemimpin dipilih langsung oleh masyarakat. Pemerintah yang menjadi pemimpin disetiap pengambilan kebijakan selalu ada kritik dari kubu oposisi. Hal itu merupakan kegiatan politik yang lazim. Namun, setelah pergantian pemerintahan, ada kelopmpok oposisi yang lalu menjadi pemimpin, kesalahan-kesalahan masa lalu yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya itu diulang lagi oleh pemerintah selanjutnya. Hal ini menimbulkan kebosanan dan kelelahan publik terhadap proses pergantian rezim secara terus-menerus dibarengi kesalahan yang sama.
Kebosanan publik terhadap pergantian rezim berubah menjadi apatisme politik, karena harapan yang senantiasa didengungkan ketika pergantian rejim tidak bisa diwujudkan. Pada satu sisi, kebosanan tersebut bagi oposisi berikutnya yang mengkritik kebijakan-kebijakan penguasa terasa mendahului kehendak masyarakat.
The Silent Passivity (Jean Baudrilard 1984)
Silent Passivity yang coba saya gambarkan disini yakni orang-orang yang pasif atau bisa dibilang menerima apa adanya. Saya memandang silent passivity ini dampak dari political aphaty.
Contoh kasus, bagaimana President SBY menaikan harga BBM yang tentunya banyak pro-kontra didalamnya, bahkan kebijakannya lebih banyak merugikan orang banyak kalau dilihat dari segi ekonomi. Ada yang memprotes atas kebijakannya itu dengan cara berdemo menuntut penarikan kebijakan tersebut, namun bayak juga masyarakat yang menerima kebijakan tersebut. Menerima bukan berarti mereka setuju namun mereka pasif akan apa yang terjadi. Kaum inilah yang disebut Silent passivity.
Hal ini juga bisa bentuk kekecewaan yan dijelaskan pada politikal apatis diatas. Kepasifan mereka seolah menjadi keberuntungn bagi para elite politik dengan pemerintahannya ataupun kaum kapitalis media dengan isi pesan yang disampaikannya. Kaum elite politik dengan sikap otoriternya bisa memanfaatkan fenomena ini untuk terus menjalankan pemerintahannya dan kepentingannya
The Public Sphere (Jurgen Hubermas 1989)
Public Sphere atau yang biasa dikenal dengan ruang publik yakni area kehidupan sosial dimana public bisa mendiskusikan dan mengidentifikasi masalaha yang ada. Public sphere yang dikenal dahulu abad ke 18 pada kedai-kedai kopi di Eropa ini perbincangan-perbincangan atau diskusi ringan dalam satu area.
Apa yang didiskusikan lebih dari satu orang dan bisa dilihat orang dari apa dibincangkan sehingga menimbulkan opini public lainnya. Dalam satu pemerintahan yang mengambil kebijakan namun tidak sesuai dan sejalan dengan kebnyakan public, sehinggga public mengemukakan pendapatnya dalam diskusi tersebut, dan dilihat oleh public lainnya sehinnga menimbulkan opini public yang berpendapat tidak sejalannya pemikitran mereka dengan apa yang diputuskan oleh pemerintah. Sehinnga forum tersebut dapat berpengaruh dengan kebijakan-kebijakna pemerintah.
Seiring perkembangan zaman, kini public sphere bisa kita lihat dimana saja. Orang-orang bisa berdiskusi, mengemukakan pendapat atas permasalahn yang ada. Kemajuan teknologi mempermudah public untuk bisa mengemukakan pendapatnya dalam satu permasalahan. Dalam media massa contohnya, acara-acara talk show yang dikemas semenarik mungkin, dimana ada pembawa acara, nara sumber dan tentunya satu topik yang diangkat. Disitu terjadi pandangan-pandangan dari berbagai elemen termasuk khalayak (penonton), bahkan khalayak pun bisa mengemukakan pendapatnya melalui telpon interaktif.
Pada era ini, media semakin berkembang, hadirnya new media seperti facebook, blog, twitter dan lain sebagainya bisa dimanfaatkan oleh public untuk berdiskusi tentang permasalahan yang ada dan dapat dilihat oleh khalayak banyak.
The Manufacturing Concent (Noam Chomsky dan Edward Hemas 1988)
Seperti apa yang diperkenalkan oleh Noam Chomsky dan Edward Hemas yang saya pahami disini Manufactoring Concent neranggapan bahwa media dalah pabrik produksi yang menyajikan pesan atau informasi dengan tujuan apa yang disampaikan itu disetujui oleh khalayak. Apa yang telah dije;askan oleh Chomsky dan Edward, meda sebagai perusahaan kapitalis yang menyajikan informasi yang dikemas sedemikian rupa dengan harapan apa yang diinformasikan bisa disetujui oleh penikmat media, masyarakat mengiyakan saja apa yang telah diinformasikan dan disini seperti masyarakat kehilangan daya kritisnya dengan apa yang ia dapat.
Media massa yang kita ketahui merupakan saran penyampaian informasi kepada khalayak, dan inilah fungsi mereka untuk menanamkan nilai-nilai, kepercayaan dan tingkah laku. Pabrik (media) inilah yang mengatur atau secara tidak langsung menizinkan pesan atau informasi mana yang akan dikonsumsi oleh masyaraka sebagai penikmat media.
Selain itu, media yang disebut pabrik tersebut, memproduksi kembali apa yang terjadi, dan membentuk opini baru terhadap kejadian tersebut seperti apa yang diingakan oleh media tersebut. Contohnya dalam kasus century yang terus diberitakan oleh media, lagi, lagi dan lagi diberitakan oleh media tentunya dengan opini public yang berbeda. Adanya ketergantungan informasi oleh penikmat media demi kelancaran media tersebut meraup kentungan sebanyak-banyaknya.
Tentunya, pesan yang disampaikan oleh media tersebut tidak lain adalah demi kepentingan pihak-pihak yang dibelakang media tersebut.
The Tabloid Jurnalisme (Colin Spacks 1992)
Kata tabloid yang banyak dikenal mungkin sebuah media yang meginformasikan berita-nerita serta isu ringan. Namun Tabloid Jurnalisme bukan hanya sebatas itu, Tabloid jurnalisme yang dimaksud oleh Colin Sparks ini yaitu usaha-usaha peralihan media baik dari isi, bentuk serta formatnya dari kodrat awalnya ke arah bentuk-bentuk tabloidisasi. Maksudnya, adanya perubahan format yang seharusnya serius menjadi ringan seperti tabloid yang kita baca kebanyakan, bahasa ringan, kaya akan ilustrasi dan kemasan yang menarik.
Adanya perubahan format merupakan tuntutan dari keuntungan, bagaimana media tersebut dengan kemasan yang lebih ringan bisa menarik iklan sebanyak-banyaknya. Namun fenomena ini seperti pembodohan publik, tayangan (berita) yang disajikan itu tidak ada pentingnya. Contoh dalam sebuah talkshow kasus Al Amin Nasution, seorang wartawan atau pembawa acara dalam pertanyaannya lebih menekankan gosipnya dengan Kristina bukan melainkan pertanyaan mengenai kasus korupsinya.
Saya melihat bahwa media-media indonesia telah mengarah pada tren ini, mereka melihat dalam tatanan kehidupan masyarakat di Indonesia dilihat dari ekonomi mayoritas menengah kebawah. Masyarakt Indonesia yang sebagai penikmat media lebih suka dengan tnyangan-tayangan yang easy thingking. Maka dari itu media melihat peluang ini untuk mengemas sebuah pemberitaan yang banyak diinginkan.
Media mulai mengesampingkan aspek kualitas berita dan konsen pada pasar. Isu yang diangkat seringkali tidak ada relevansinya dengan keadaan masyarakat yang sedang bermasalah. Masyarakat seolah terlena akan fenomena ini, yang seharusnya masyarakat mendapatkan hal yang lebih penting untuk kehidupannya. Media yang seperti ini hanya mengedepankan bagaimana mencari penikmat sebanyak-banyaknya, memproduksi sebanyak mungkin dan mendapat iklan yang banyak.
The Hegemoni (Antonio Gramsci 1971)
Saya berpandangan bahwa Hegemoni adalah proses dominasi, di mana sebuah ide mengalahkan atau membawahi ide lain, sebuah proses di mana satu kelompok dalam masyarakat menggunakan kepemimpinan untuk menguasai yang lainnya. Kata dominasi yang harus kita tekankan, bagaimana seseorang menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sedangkan wacana lain dianggap salah.
Hal tersebut jika dikaitkan dengan media, Media secara tidak sengaja menjadi alat untuk menyebarkan nilai-nilai atau wacana dominan yang dianggap benar hingga meresap dalam benak khalayak dan dianggap kebenaran. Sebaliknya, wacana lain diangap salah. Bagaimana media menjadi fasilitator ataupun alat untuk kelompok yang berkepentingan untuk mendominasi wacana ataupun tujuannya.
peran media sebagai channel yang menghubungkan wacana dominan itu kepada khalayak atau kelompok minoritas. Berbagai pihak di belakang media sebagai kelompok dominan yang berkepentingan menyebarkan wacana atau ideologi, hingga membangun kultur dan ideologi dominan, sekaligus perjuangan kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan. Pertarungan wacana itu melahirkan kegagahan bagi media sebagai pencetus berbagai kebenaran yang tidak perlu dipertanyakan.
Sejak bergulirnya era reformasi tidak bisa dipungkiri lagi topik-topik politik menjadi pilihan wacana media. Yang sebelumnya sebelum era reformasi ini media seperti dikerangkeng oleh system. Pemberlakukan Undang-undang Pers membuat media merasa memiliki alasan untuk menikmati kebabasan itu. Berbagai pihak di belakang media sebagai kelompok dominan yang berkepentingan menyebarkan wacana atau ideologi, hingga membangun kultur dan ideologi dominan.
Psudo Event (Daniel barstin 1962)
Pseudo Event sama halnya dengan berita semu, yang saya pahami disini, psudo event merupakan isi dari Tabloid jurnalisme. Kalau diatas saya sudah menjelaskan tentang tabloid jurnalisme, pseudo event menyajikan tayangan-tanyangan yang semu ataupun tidak penting. Memang tergantung dari siapa yang melihatnya, orang-orang menengah kebawah mungkin melihat ini merupakan sebuah hiburan, namun pada kelas mengah keatas itu tidak ada pentingnya. Pembodohan public mungkin kata yang cocok untuk fenomena ini. Masyarakat yang eharusnya mengkonsumsi informasi atau tanyangan yang lebih penting namun mereka banya tertarik kepada berita-berita semu seperti ini.
Contohnya dalam pemberitaan Boomingnya video briptu norman dengan Chaya-chayanya ataupun sinta-jojo dengan keong racunhya. Media menjadi ramai dengan berita tersebut, seolah seperti berlomba-lomba untuk menayangkan berita tersebut.
Sekali lagi saya mencoba menjelaskan bahwa media seolah melihat peluan dari kehidupan ekonomi masyarakat di Indonesia ini, masyarakat menegah kebawah yang memang lebih menikmati tayangan yang easy thingking.
Orang-orang yang berada dibalik media lebih mementingkan pasar daripada kualitas informs yang disajikan.
pandangan ini dari satu otak saja, mohon maaf bila ada kesalahan.. mohon dimaklumi.. masih dalam tahap belajar.. hihihi
